Jumat, 27 Januari 2012

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM GADAI TANAH DI KEC. KABILA


A.    Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.
Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan, pemberi utang dan masyarakat. Penggadai mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya. Adapun pihak pemberi utang, dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa.
Hukum meliputi semua aspek kehidupan manusia, sehingga dalam penerapannya, hukum digolongkan ke dalam bidang-bidang tertentu dengan disesuaikan pada tugas dan fungsinya. Salah satu bidang yang erat hubungannya dengan tingkah laku manusia dan sesamanya serta dengan benda-benda yang ada disekitarnya adalah hukum perdata tentang penggadaian.
Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman sekarang ini. Sehingga, orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Salah satu contoh kesehariannya di dalam kehidupan masyarakat kita terjadi berbagai macam fenomena, mereka berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi hal ini tidak semudah yang dibayangkan untuk mencari kebutuhan ekonomi kadang menemui beragam kendala yang akhirnya terbersit untuk menggadaikan tanah yang mereka miliki seperti tanah garapan atau pertanian kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang sebagai gantinya, ini adalah bentuk suatu kesederhanaan, kepraktisan, ekonomis dan bentuk kekeluargaan tanpa adanya aturan-aturan formal yang mempersulit mereka yang belum mengenal arti akan hukum positif kita.
Ada tiga bentuk sistem gadai tanah (sawah) di masyarakat, yaitu; a). Penggadai dapat terus menggarap sawah gadainya, kemudian kedua belah pihak membagi hasil sawah sama seperti “bagi hasil”, b). Pemegang gadai mengerjakan sendiri sawah gadai, c). Pemegang gadai menyewakan atau bagi hasil sawah gadai tersebut kepada pihak ketiga.
Pada umumnya perjanjian dilakukan secara lisan antara kedua pihak tentang luas sawah dan jumlah uang gadai, dengan tidak menyebutkan masa gadainya, yang menjadi persoalan dalam sistem gadai sawah ini adalah petani akan sulit mengembalikan uang kepada pemilik uang dikarenakan tanah tersebut masih dalam perjanjian gadai, sawah yang menjadi pendapatan pokok keluarga digarap oleh pemilik uang. Sistem gadai ini juga seringkali menyebabkan petani terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah, karena petani tidak memiliki daya tawar kepada si pemilik uang.
Sebagian besar petani di Gorontalo terutama di kecamatan kabila yang rata-rata petaninya memiliki tanah yang sempit, makin diperparah bila terjadi gagal panen, sebagai akibat peristiwa alam yang tidak menguntungkan seperti banjir, serangan hama wereng, tikus dan lain-lain ataupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang meningkat atau bahkan dalam rangka melaksanakan upacara-upacara penting seperti pernikahan, doa arwah dan sebagainya. Hal ini mendorong petani untuk mencari pinjaman dan mengakibatkan petani tidak memiliki pekerjaan lagi, padahal tanah itu adalah satu-satunya penghasil keluarganya.

B.           Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pelaksanaan sistem gadai tanah dalam masyarakat di kec. Kabila?
2.      Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap sistem gadai tanah dalam masyarakat di kec. Kabila?

C.          Batasan Masalah
Dengan berbagai macam kebutuhan yang sering terjadi di dalam suatu keluarga mengakibatkan para petani harus ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan penghidupan bagi dirinya dan keluarga yang sifatnya material, tidak jarang hal ini merupakan faktor pendukung berlangsungnya gadai dalam masayarakat tani ditambah dengan kurangnya pengetahuan tentang hukum gadai, Oleh karenanya penulis memilih penelitian ini. Penelitian ini memfokuskan di kecamatan kabila kabupaten Bone Bolango, yang merupakan salah satu kecamatan yang memiliki petani terbanyak di Gorontalo. Penelitian ini di batasi dengan mengambil 1 sampel pendukung di setiap desa/kecamatan dan lebih mengkhususkan terhadap status hukum dengan melihat bahwa benar atau tidaknya perilaku yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

D.          Penegasan Istilah         
Untuk mengetahui deskripsi yang jelas tentang arah pembahasan ini, maka penulis memberikan pengertian kata yang terdapat dalam rangkaian judul Draf Skripsi ini sebagai berikut:
1.      Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya)
2.      Hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan Al-Quran dan hadis; hukum syarak.
3.      Sistem adalah perangkat unsur yg secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas: pencernaan makanan, pernapasan, dan peredaran darah dalam tubuh; telekomunikasi
4.      Gadai adalah meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman.
5.      Tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi.


E.           Tujuan dan kegunaan
1.      Tujuan penelitian ini adalah
a.       Bagaimana pelaksanaan sistem gadai tanah dalam masyarakat di kec. Kabila.
b.      Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap sistem gadai tanah dalam masyarakat di kec. Kabila.
2.      Penelitian ini di harapkan dapat memberikan nilai guna dan mamfaat  kepada
a.       Kepada masyarakat hasil penelitian ini akan memberikan wawasan ilmu pengetahuan bagaimana pentingnya pembagian harta yang jelas status hukumnya, demi menghindari terjadinya permasalahan-permasalahan yang akan terjadi dalam masyarakat.
b.      Kepada mahasiswa semoga hasil penelitian ini dapat membantu anda untuk penelitian selanjutnya serta mendapatkan wawasan yang luas dalam mengenal hukum Islam terutama dalam masalah Gadai yang terjadi di masyarakat.

F.           Tinjauan Pustaka Yang Relevan
            Dalam Tinjauan pustaka ini penulis akan mengemukakan hasil penelitian sebelumnya dengan masalah yang di angkat, dimana sejauh ini penulis belum menemukan hal yang serupa dengan yang akan peneliti teliti, tapi penulis menemukan salah satu tesis Yang di tulis oleh TRI PUDJI SUSILOWATI, SH yang terkait dengan masalah “Pelaksanaan Gadai Dengan Sistem Syariah Di Perum Pegadaian Semarang” dalam Tesisnya dia menyimpulkan bahwa benda gadai (Marhun) harus diserahkan kepada kreditor (Murtahin). Benda jaminan gadai tidak dibolehkan berada dalam tangan debitor, walaupun hal tersebut diperjanjikan, karena sangat bertentangan dengan prinsip gadai. Larangan ini sekaligus menunjukkan pula, bahwa perjanjian gadai bersifat riil. Mahkamah Agung dalam salah satu pertimbangan hukumnya menetapkan, bahwa dalam hubungan “pand”/gadai, pemilikan atas barang jaminan tetap berada pada debitor, namun penguasaan secara fisik atas barang tersebut berada di tangan kreditor. Hal ini merupakan suatu bentuk perlindungan hukum bagi kreditor dalam pelaksanaan gadai, sehingga apabila obyek jaminan tetap berada dalam penguasaan kreditor maka menurut hemat penulis akan mempermudah pelaksanaan eksekusi apabila terjadi wanprestasi. Sebaliknya Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya, hal ini merupakan bentuk perlindungan hukum bagi debitor (Rahin).[1]
Peneliti akan membahas atau meneliti lebih jauh tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Gadai Tanah Di Kec. Kabila, sebagai pembuktian penelitian yang akan penulis teliti.

G.          Kerangka Teori
1.            Pengertian Gadai
Makna gadai secara etimologi/bahasa adalah “tertahan” sebagai mana dalam satu ayat al-Qur’an, كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ “Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggung-jawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatstsir: 38) Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh: “Haram bagai seseorang kencing diair yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak” Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”.[2]
Pengertian Gadai (rahn) Ar-Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”. Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu”.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.”
Dalam buku lain didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu[3]
Sedangkan menurut S.A Hakim, yang mengatakan jual gadai ialah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, demikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu, masih mempunyai hak untuk mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah uang yang tersebut.[4]
Sifat-sifat umum gadai
a.       Gadai adalah untuk benda bergerak. Artinya obyek gadai adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud (hak tagihan).
b.      Sifat kebendaan. Artinya memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa dikemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai barang jaminan.
c.       Benda gadai dikuasai oleh pemegang gadai. Artinya benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai.
d.      Hak menjual sendiri benda gadai. Artinya hak untuk menjual sendiri benda gadai oleh pemegang gadai.
e.       Hak yang didahulukan
f.       Hak accessoir. Artinya hak gadai tergantung pada perjanjian pokok.

Barang yang dapat digadaikan yaitu semua barang bergerak seperti barang-barang perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga, mesin, tekstil, dll. Sedangkan barang yang tidak dapat digadaikan adalah barang milik pemerintah, surat-surat berharga, hewan dan tanaman, bahan makanan dan benda yang mudah busuk, benda-benda yang kotor, benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkan dari satu tempat ke tempat lain memerlukan izin, barang yang karena ukurannya yang besar maka tidak dapat disimpan digadaian, barang yang tidak tetap harganya.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil uang.





2.            Dasar Hukum Gadai
Adapaun yang menjadi dasar hukum gadai adalah:
a.       QS. AI-Baqarah (2) ayat 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  

Terjemahnya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
b.      Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari A'isyah ra Menuturkan:
 أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيد ٍ
Artinya:
Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya. (HR Bukhari dan Muslim).

c.       Hadis dari Anas bin Malik ra.
وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ عِنْذَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا ِلأَهْلِهِ
Artinya:
Sesungguhnya Nabi saw. pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau. (HR al-Bukhari).
d.      Ijma' Ulama; Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw, yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang, Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada mereka.
e.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, di antaranya dikemukakan sebagai berikut.
1)      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn;
2)      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
3)      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSNMUI/IV/2000 tentang Wakalah;
4)      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSNMUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
f.       Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 56 Tahun 1960, tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, khususnya pasal 7.
Yang berbunyi:
(1) Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak-gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
(2) Mengenai hak-gadai yang pada mulai berlakunya. Peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:
(7 + 1/2) - waktu berlangsungnya hak-gadai    X uang gadai,
                         7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak-gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.

H.          Metode Penelitian
1.            Pendekatan dan Jenis penelitian
a.      Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, Penelitian Kualitatif sebagaimana pendapat Amirul Hadi dengan mengutip pendapat bogdan dan tailor adalah prosedur penelitian yang yang menghasilkan data deskriftif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[5]
b.      Jenis penelitian
            Peneliti yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yakni suatu bentuk penelitian yang berusaha memberikan gambaran secara sistematis dan cermat fakta-fakta yang diteliti.
2.            Kehadiran Peneliti
Pada penelitian ini peneliti bertindak sebagai pengumpul data. Karena itu kehadiran peneliti pada lokasi penelitian adalah suatu keharusan dalam rangka mengamati secara langsung terhadap objek penelitian. Sehingga data yang di kumpulkan benar-benar valid dan dapat dipertanggung jawabkan.
3.            Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di kabupaten Bone Bolango, kecamatan Kabila, Peneliti memilih tempat penelitian ini dikarenakan lokasi tersebut merupakan salah satu tempat yang telah melaksanakan Gadai tanah (sawah), tentunya ini perlu di lakukan penelitian sebagai pembuktian kebenaran.
4.            Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
a.       Data Primer Merupakan data utama yang berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang di amati dan di wawancarai,[6] dalam hal ini tentang pengadaian tanah (sawah).
b.      Data Sekunder merupakan data yang di peroleh dari berbagai dokumen, data pustaka, dan arsip-arsip yang berkaitan dengan objek penelitian.
5.            Prosedur Pengumpulan Data
            Dalam prosedur pengumpulan data adalah merupakan tahapan penelitian yang harus dilalui oleh peneliti. Dalam hal prosedur untuk mengamati dan menggali berbagai informasi yang berhubungan dengan fokus penelitian. Dalam mengumpulkan data penulis menggunakan beberapa teknik yaitu:
a.       Pengamatan (observasi) yaitu penelitian melakukan pengamatan langsung terhadap tempat atau lahan yang telah diberikan pewaris kepada ahli warisnya.
b.      Wawancara (interview), yaitu tehnik pengumpulan data di lapangan dalam hal ini penelti melakukan wawancara dengan dua cara, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur, wawancara terstruktur meggunakan seperangkat pertanyaan baku secara tertulis  sebagai pedoman untuk wawancara. Sedangkan wawancara tidak terstruktur merupkan wawancara bebas dan pedoman wawancara yang digunakan hanya garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan, sehingga peneliti lebih banyak mendengar apa yang di sampaikan informan.
c.       Dokumentasi yaitu metode ini digunakan dengan maksud untuk memperoleh data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen (data sekunder) fungsinya sebagai pelengkap sekaligus pendukung data sebelumnya.
6.      Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan interaktif melalui tiga alur kegiatan:
a.       Reduksi data (data reduction) Dalam hal ini penulis merangkum, memilih hal-hal yang pokok dan memfokuskan kepada hal-hal yang penting dari catatan-catatan tertulis yang di peroleh dari lapangan.
b.      Penyajian data (data display) dalam penyajian data hasil penelitian, penulis menghubungkan antara temuan di lapangan dengan hasil penelitian terdahulu. Penyajian data dalam penelitian bertujuan untuk mengkomunikasikan hal-hal yang menarik dari masalah yang diteliti, metode yang digunakan, penemuan yang di peroleh, penafsiran hasil, dan pengintegrasiannya dengan teori.
c.       Conlusion drawing/verivication, langka selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang di kemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak di temukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang di kemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan dalam menyimpulkan data. Maka kesimpulan yang di kemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.[7]
7.            Pengecekan keabsahan Data
Pada tahapan ini peneliti menggunakan teknik pengecekan temuan yang dilakukan dengan cara triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang diproses
Pengecekan dengan cara triangulasi ini dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Triangulasi Sumber, dilakukan dengan membandingkan data yang di peroleh dari sumber dengan cara mengecek, cek ulang (recek) dan cek silang.
b.      Triangulasi metode, dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara dengan data yang diperoleh lewat observasi atau dokumen yang berkaitan.
8.            Tahap-Tahap Penelitian
            Dalam melakukan penelitian ini penulis melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a.       Perencanaan atau persiapan adalah merupakan studi pendahuluan melalui kajian-kajian buku guna mendapatkan informasi berupa teori-teori pendukung penelitian ini.
b.      Pelaksanaan dalam tahap ini penulis mulai mengadakan langkah-langka: langkah pengecekan kelayakan permasalahan dan sumber data pendukung penelitian, penyusunan proposal penelitian, instrument penelitian, pengumpulan data dan terakhir pengumpulan data. Penarikan kesimpulan sebagai akumulasi akhir dari penelitian serta saran yang diharapkan dapat direalisasikan pada masa mendatang.



I.       KOMPOSISI BAB
BAB I:      PENDAHULUAN
A.    Latar belakang Permasalahan
B.     Rumusan Masalah
C.     Batasan Masalah
D.    Penegasan istilah
E.     Tujuan dan Kegunaan
F.      Tinjauan Pustaka Yang Relevan
G.    Kerangka Teori
H.    Garis-Garis Skripsi
BAB II:     KAJIAN PUSTAKA
A.    Konsep Gadai Dalam Islam
B.     Pendekatan Gadai Dalam Masyarakat Islam
C.     Efektifitas sistem Gadai Islam Di Masyarakat
BAB III:   METODOLOGI PENELITIAN
A.    Pendekatan dan Jenis penelitian
B.     Tahap-Tahap Penelitian
C.     Pengecekan keabsahan Data
D.    Analisis Data
E.     Prosedur Pengumpulan Data
F.      Sumber Data
G.    Lokasi Penelitian
H.    Kehadiran Peneliti
BAB IV:   HASIL PENELITIAN
A.    Pelaksanaan sistem gadai tanah dalam masyarakat di kec. Kabila
B.     Tinjauan hukum islam terhadap sistem gadai tanah dalam masyarakat di kec. Kabila
BAB V:     PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002)
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Istimewa, Gadai, Dan Hipotek, (Jakarta: Prenada Media 2005)
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Pasaribu, Chaeruddin dan K. Lubis.Suhrawardi. Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)
Lexy J. Maleong. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. (Bandung. Remaja Rosdakarya, 2005)
Sugiyono. “Memahami Penelitian Kualitatif” (Bandung   Al-fabeta, 2005)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Edisi III. Cet. III.
S.A Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965)


[1] Tri Pudji Susilowati, SH “Pelaksanaan Gadai Dengan Sistem Syariah  Di Perum Pegadaian Semarang” Tesis (Universitas Diponegoro, 2008) hal 87-88
[2] Fathul Bari 5/173, al-Mughni 6/443, Aunul Ma;bud 9-10 / 319
[3] Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, 2001. Hal 73

[4] S.A Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan, (Bulan Bintang, Jakarta, 1965),
hal 30
[5] Amirul Hadi, Metodologi Peneltian,( Bandung:Pustaka Setia,1998),h.56
[6] Lexy J. Maleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung. Remaja Rosdakarya,2005) h.156
[7] Sugiyono. “ Memahami Penelitian Kualitatif “ (Bandung   Al-fabeta, 2005). h.92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar